Masjid AL-MUHAJIRIN di Kmp.PAJAGALAN SOREANG KAB.BANDUNG
Hari Jum’at memang hari yang istimewa di sisi Allah SWT, banyak peristiwa agung terjadi pada hari Jum’at. Bukan sekedar rotasi hari biasa dari Senin hingga Ahad sebagaimana sehari-hari terjadi. Hari Jum’at merupakan raja dari hari-hari. Secara teologis ada peristiwa agung yang terjadi pada hari Jum’at. Allah SWT menciptakan langit dan bumi, menciptakan nabi Adam AS, memasukkan nabi Adam ke dalam syurga, menurunkan nabi Adam AS ke dunia, dan mewafatkan beliau juga pada hari Jum’at, niscaya Allah SWT mengabulkan doa yang dipanjatkan pada hari Jum’at, dan pada hari Jum’at juga dunia beserta isinya akan digulung kembali. Setiap malaikat, langit, bumi, angin, gunung, dan laut semuanya menyayangi hari Jum’at. Oleh karena hari Jum’at memiliki banyak keutamaan, kaum Muslim didorong menunaikan amalan lebih banyak pada hari Jum’at dibanding hari-hari lainnya sehingga lebih taqarub kepada Allah SWT dan sekaligus menambal pelbagai kekurangan di hari-hari lainnya. Allah SWT menjadikan perbuatan yang sangat mulia di hari Jum’at yang menjadi perantara diri kepada-Nya, sholat Jum’at. Sholat Jum’at adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan umat Muslim. Sebagimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Jumu’ah: 9, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui“. Ayat tersebut bersifat umum dan tidak menyebutkan jamaah dengan jumlah tertentu. Segala sesuatu yang bersifat umum tidak boleh dikhususkan begitu saja tanpa berdasarkan Qur’an, Hadits, atau ijma’ ulama. Karena itu kontroversi di antara para ulama terjadi. Masalah-masalah yang diperdebatkan berkisar keabsahan shalat Jum’at: jumlah jamaah yang menunaikan dan prasyaratnya. Apakah dengan dua orang saja bisa menunaikan shalat Jum’at, orang yang bermukim di dusun kecil atau tinggal di kemah berpindah berkewajiban menunaikannya? Sebagian ulama seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Auzai, dan Laits bin Sa’ad mengatakan setiap penduduk dusun yang ada pemimpinnya mereka diperintahkan untuk melakukan shalat Jum’at dan yang menjadi imam adalah pemimpin mereka. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishak, mewajibkan ada shalat Jum’at dalam sebuah tempat yang di dalamnya terdapat 40 penduduk laki-laki yang sudah akil baligh dan berstatus merdeka. Syarat 40 orang ini ditanggapi oleh al-Auzai, tidak perlu sebanyak itu, asal ada 3 orang saja dan ada pemimpinnya, mereka wajib shalat Jum’at. Sebab pada dasarnya shalat Jum’at sama dengan shalat lainnya hanya saja di dalam shalat Jum’at ada kutbahnya.
Hampir serupa dengan shalat fardhu lainnya, shalat Jum’at diwajibkan kepada orang yang sudah akil baligh, merdeka, laki-laki, tidak sedang bepergian, dan tidak ada udzur sama sekali. Jadi shalat Jum’at wajib mutlak bagi laki-laki. Bagi perempuan yang ikut shalat Jum’at maka tidak perlu melakukan shalat Dzuhur. Anak kecil dan orang gila tidak wajib shalat Jum’at karena dianggap fisiknya lemah atau orang gila tidak memenuhi syarat akalnya. Sebagian besar ulama juga sepakat tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi kaum budak atau kaum tidak merdeka. Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab bahwa nabi Muhammad SAW bersabda “Shalat Jum’at itu wajib atas setiap Muslim dengan cara berjamaah kecuali empat golongan, yaitu budak, perempuan, anak-anak, dan orang sakit“. Untuk anak-anak perlu mengajak mereka menunaikan shalat Jum’at sebagai pembelajaran bagi mereka sehingga ketika kewajiban shalat Jum’at kelak turun baginya, anak sudah siap menunaikannya. Sedangkan bagi musafir, sebagian besar ulama sepakat tidak mewajibkannya karena nabi Muhammad SAW dalam perjalanan tidak mengerjakan shalat Jum’at. Begitu juga pada saat beliau mengerjakan haji wada’ di Arafah yang jatuh pada hari Jum’at, beliau hanya mengerjakan sholat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ takdim. Langkah nabi ini juga diikuti para khalifah setelah beliau wafat.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Sallamah bin al-Akwa’ berkata “Kami shalat hari Jum’at bersama Rasulullah saw kemudian kami pulang ketika dinding sudah tidak punya bayangan yang bisa digunakan untuk berteduh.” Dalil inilah yang banyak dipakai oleh jumhur ulama bahwa waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat Dzhuhur. Menurut Imam Malik, boleh hukumnya membaca khutbah sebelum matahri condong ke barat tetapi shalat Jum’atnya harus dilakukan setelahnya.
Shalat Jum’at yang dilaksanakan pada hari yang istimewa tersebut memiliki sejumlah sunnah yang sangat dianjurkan. Pertama mandi Jum’at, dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang mandi, mendatangi shalat Jum’at kemudian shalat seperti yang telah ditentukan kepadanya kemudian serius mendengarkan khutbahnya, kemudian shalat bersamanya, niscaya diampuni dosanya yang terjadi antara Jum’at dan Jum’at yang lain ditambah 3 hari. Barang siapa yang memegang kerikil-batu kecil untuk dipermain-mainkan sehingga tidak memperhatikan isi khutbah, maka ia telah melakukan kelalaian“. Sunnah mandi Jum’at seyogyanya dibarengi dengan berhias/berdandan, menggosok gigi, dan memakai wewangian. Kedua, memperbanyak ingat kepada Allah SWT, beristighfar kepada-Nya, memperbanyak membaca Al-Qur’an, sering bershalawat pada Nabi dan keluarganya, serta bersedekah karena hari itu adalah hari mulia di mana karunia Allah tercurah ke alam semesta dan rahmat-Nya menyelimuti dunia. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad shahih, dari Aus bin Aus nabi Muhammad SAW bersabda “Sesungguhnya di antara hari-harimu semua yang lebih utama ialah hari Jum’ah, maka dari itu perbanyakkanlah membaca shalawat padaku dalam hari Jum’ah itu, sebab sesungguhnya shalawatmu semua itu ditunjukkan kepadaku“. Ketiga, berangkat ke masjid lebih awal. Diharapkan jamaah shalat Jum’at bisa melaksanakan shalat sunnah dan berzikir kepada Allah SWT sebelum kutbah dimulai. Barang siapa berangkat pada saat pertama seolah-olah dia berkurban seekor unta, yang berangkat pada saat kedua seolah-olah berkurban seekor lembu, yang berangkat pada saat ketiga seolah-olah berkurban kambing kibas, yang berangkat pada saat keempat seolah-olah berkurban seekor ayam, dan yang berangkat pada saat kelima seolah-olah berkurban sebutir telor. Keempat, menyimak khutbah sang khatib. Tidak berbicara ketika khatib sedang menyampaikan khutbah karena bisa membatalkan pahala shalat Jum’at.
Khutbah Jum’at adalah wajib menurut jumhur ulama. Mereka berdasarkan dari hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa setiap kali Nabi mengerjakan shalat Jum’at maka selalui disertai dengan khutbah. Bagi Imam Syafi’i, hukum dua khutbah adalah wajib, duduk di antara dua khutbah juga wajib. Menurut sebagian besar ulama ahli fiqh seperti Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, yang wajib hanya satu khutbah. Namun menurut Syaukani khutbah tidak wajib karena tidak termasuk bagian dalam shalat. Saat berkhutbah, Rasulullah SAW biasa memperpendek khutbah, menggunakan kalimat-kalimat yang singkat namun padat, memperpanjang shalat, memperbanyak dzikir. Khutbah beliau lebih menitik-beratkan pada pokok-pokok keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, dan saat berhadapan dengan Allah di hari kiamat, uraian mengenai surga dan neraka, apa-apa yang disediakan Allah untuk para wali dan orang-orang yang taat. Sebaliknya apa-apa yang disediakan Allah bagi musuh-musuh-Nya dan ahli maksiat. Dengan demikian hati pendengar akan dipenuhi keimanan, tauhid, makrifatullah, serta saat genting di hari kiamat.
Beruntunglah orang-orang yang punya perhatian lebih pada shalat Jum’at dan amalan-amalan yang mengikutinya sehingga bisa menjadi penutup kekurangan di hari yang lain.
Referensi:
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT.Toha Putra, 1999
2. Ringkasan Kitab Hadist Shahih Imam Bukhari
3. Riyadhus Shalihin, terjemahan, Imam Nawawi
4. Hidayah Edisi 71 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar